PIDIE JAYA
Kabupaten
Pidie Jaya adalah salah satu kabupaten di Aceh, Indonesia. Ibukotanya
adalah Meureudu.
Kabupaten ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2007 pada
tanggal 2 Januari 2007. Kabupaten Pidie
Jaya terdiri delapan Kecamatan, yakni Kecamatan Bandar Baru dengan Ibukotanya
Lueng Putu, Kecamatan Pante Raja ibukotanya Keude Pante Raja, Kecamatan Trieng
Gadeng Ibukotanya Trieng Gadeng, Kecamatan Meureudu Ibukotanya Meureudu,
Kecamatan Meurah Dua Ibukotanya Simpang Puet, Kecamatan Ulim Ibukotanya Keude
Ulim, Kecamatan Jangka Buya Ibukotanya Jangka Buya, Kecamatan Bandar Dua
Ibukotanya Ulee Gle. Kabupaten Pidie Jaya adalah 1 dari 16 usulan pemekaran
kabupaten/kota yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat pada tanggal 8 Desember 2006. Kabupaten Pidie Jaya terbagi dalam delapan (8) kecamatan dan 222 gampoeng. Berikut ini merupakan daftar kecamatan yang ada di Kabupaten Pidie Jaya beserta luas dan
jumlah mukim dan gampoeng yang dimilikinya.
Secara
topografi Kabupaten Pidie Jaya berada pada ketinggian 0,80 m s/d 125,0 m di
atas permukaan laut dengan tingkat kemiringan lahan antara 0 sampai 40%, dimana
untuk kota kota kecamatan seperti Panteraja, Treinggadeng, dan Meureudu berada
dipesisir pantai laut Malaka. Secara keseluruhan Kabupaten Pidie Jaya rawan
terhadap banjir dan erosi. Kecamatan Ulee Glee yang merupakan wilayah yang
berada ditempat yang lebih tinggi dari daerah lainnya dan wilayah selatan dari
kecamatan Bandar Baru, Panteraja, Trienggadeng dan Merah Dua dari Kabupaten
Pidie Jaya juga merupakan kawasan hutan yang selama ini terjadi penebangan
hutan yang tidak terkendalinya dan kurang berhasilnya reboisasi kawasan hutan
berpotensi untuk terjadinya erosi. Dari klasifikasi lereng, Kabupaten Pidie
Jaya merupakan daerah dataran tinggi yang memiliki daerah kelas lereng lebih
besar dari 40 % dan daerah pesisir pantai yang memiliki klasifikasi lereng
0 - 3 %. Bila dilihat dari jenis tanah kabupaten Pidie Jaya, jenis tanah
podzolit merah kuning merupakan jenis terluas dengan beberapa jenis tanah
lainnya. Keadaan tanah efektif di Kabupaten Pidie Jaya mencapai 94,78 %
untuk kedalaman lebih dari 90 cm, sedangkan sisanya 5,22 % tersebar ke
dalaman lainnya.
SEJARAH
Negeri
Meureudu pernah dicalonkan sebagai ibu kota Kerajaan Aceh.
Namun konspirasi politik kerajaan menggagalkannya. Sampai kerajaan Aceh runtuh,
Meureudu masih sebuah negeri bebas. Negeri Meureudu sudah terbentuk dan diakui
sejak zaman Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda berkuasa
(1607-1636) Meureudu semakin diistimewakan. Menjadi daerah bebas dari aturan
kerajaan. Hanya satu kewajiban Meureudu saat itu, menyediakan persediaan
logistik (beras) untuk kebutuhan kerajaan Aceh.
Dalam
perjalanan tugas Iskandar Muda ke daerah Semenanjung Melayu (kini Malaysia)
tahun 1613, singgah di Negeri Meureudu, menjumpai Tgk Muhammad Jalaluddin, yang
terkenal dengan sebutan Tgk Ja Madainah. Dalam percaturan politik kerajaan Aceh
negeri Meureudu juga memegang peranan penting.
Hal itu
sebegaimana tersebut dalam Qanun Al-Asyi atau Adat Meukuta Alam, yang merupakan
Undang-Undangnya Kerajaan Aceh. Saat Aceh dikuasai Belanda, dan Mesjid Indra
Puri direbut, dokumen undang-undang kerajaan itu jatuh ke tangan Belanda. Oleh
K F van Hangen, dokumen itu kemudian diterbitkan dalam salah satu majalah yang
terbit di negeri Belanda.
Dalam pasal
12 Qanun Al-Asyi disebutkan, Apabila Uleebalang dalam negeri tidak
menuruti hukum, maka sultan memanggil Teungku Chik Muda Pahlawan Negeri
Meureudu, menyuruh pukul Uleebalang negeri itu atau diserang dan Uleebalang
diberhentikan atau diusir, segala pohon tanamannya dan harta serta rumahnya
dirampas.
Kutipan
Undang-Undang Kerajaan Aceh itu, mensahihkan tentang keberadaan Negeri Meureudu
sebagai daerah kepercayaan sultan untuk melaksanakan segala perintah dan
titahnya dalam segala aspek kehidupan politik, ekonomi, sosial, budaya, dan
pertahanan keamanan Kerajaan Aceh Darussalam.
Malah karena
kemampun tersebut, Meureudu pernah dicalonkan sebagai ibu kota kerajaan.
Caranya, dengan menimbang air Krueng Meureudu dengan air Krueng Aceh. Hasilnya
Air Krueng Meureudu lebih bagus. Namun konspirasi elit politik di Kerajaan Aceh
mengganti air tersebut. Hasilnya ibu kota Kejaan Aceh tetap berada di daerah
Banda Aceh sekarang (seputar aliran Krueng Aceh). Untuk mempersiapkan
pemindahan ibu kota kerajaan tersebut, sebuah benteng pernah dididirkan sultan
Iskandar Muda di Meureudu. Benteng itu sekarang ada di tepi sungai Krueng
Meureudu.
Peranan
Negeri Meureudu yang sangat strategis dalam percaturan politik Pemerintahan
Kerajaan Aceh. Ketika Sultan Iskandar Muda hendak melakukan penyerangan
(ekspansi) ke semenanjung Melayu (Malaysia-red). Ia mengangkat Malem Dagang
dari Negeri Meureudu sebagai Panglima Perang, serta Teungku Ja Pakeh-juga putra
Meureudu-sebagai penasehat perang, mendampingi Panglima Malem Dagang.
Setelah
Semenanjung Melayu, yakni Johor berhasil ditaklukkan oleh Pasukan Pimpinan Malem
Dagang, Sultan Iskandar Muda semakin memberikan perhatian khusus terhadap
Negeri Meureudu. Kala itu sultan paling tersohor dari Kerajaan Aceh itu mengangkat
Teungku Chik di Negeri Meureudu, putra bungsu dari Meurah Ali Taher yang
bernama Meurah Ali Husein, sebagai perpanjangan tangan Sultan di Meureudu.
Negeri
Meureudu negeri yang langsung berada di bawah Kesultanan Aceh dengan status
nenggroe bibeueh (negeri bebas-red). Di mana penduduk negeri Meureudu
dibebaskan dari segala beban dan kewajiban terhadap kerajaan. Negeri Meureudu
hanya punya satu kewajiban istimewa terhadap Kerajaan Aceh, yakni menyediakan
bahan makanan pokok (beras-red), karena Negeri Meureudu merupakan lubung beras
utama kerajaan.
Keistimewaan
Negeri Meureudu terus berlangsung sampai Sultan Iskandar Muda diganti oleh
Sultan Iskandar Tsani. Pada tahun 1640, Iskandar Tsani mengangkat Teuku Chik
Meureudu sebagai penguasa defenitif yang ditunjuk oleh kerajaan. Ia merupakan
putra sulung dari Meurah Ali Husein, yang bermana Meurah Johan Mahmud, yang
digelar Teuku Pahlawan Raja Negeri Meureudu.
Sejak Meurah
Johan Mahmud hingga kedatangan kolonial Belanda, negeri Meureudu telah
diperintah oleh sembilan Teuku Chik, dan selama penjajahan Belanda, Landscap
Meureudu telah diperintah oleh tiga orang Teuku Chik (Zelfbeestuurders).
Kemudain
pada zaman penjajahan Belanda, Negeri Meureudu diubah satus menjadi Kewedanan
(Orderafdeeling) yang diperintah oleh seorang Controlleur. Selama zaman
penjajahan Belanda, Kewedanan Meureudu telah diperintah oleh empat belas orang
Controlleur, yang wilayah kekuasaannya meliputi dari Ulee Glee sampai ke
Panteraja.
Setelah
tentara pendudukan Jepang masuk ke daerah Aceh dan mengalahkan tentara Belanda,
maka Jepang kemudian mengambil alih kekuasaan yang ditinggalakan Belanda itu
dan menjadi penguasa baru di Aceh. Di masa penjajahan Jepang, masyarakat
Meureudu dipimpin oleh seorang Suntyo Meureudu Sun dan Seorang Guntyo Meureudu
Gun.
Sesudah
melewati zaman penjajahan, sejak tahun 1967, Meureudu berubah menjadi Pusat
Kawedanan sekaligus pusat kecamatan. Selama Meureudu berstatus sebagai
kawedanan, telah diperintah oleh tujuh orang Wedana. Pada tahun 1967, Kewedanan
Meureudu dipecah menjadi empat kecamatan yaitu Ulee Glee, Ulim, Meureudu dan
Trienggadeng Penteraja, yang masing-masing langsung berada dibawah kontrol
Pemerintah Daerah Kabupaten Pidie.
Kini daerah
Kawedanan Meureudu menjelma menjadi Kabupaten Pidie Jaya, dengan Meureudu
sebagai ibu kotanya.
0 komentar:
Posting Komentar